SUMSELNEWS.Co.ID |
Di tahun 2004, dunia sedang berada di ambang revolusi digital yang belum sepenuhnya disadari. Ponsel mulai menjadi barang umum, namun belum sekompleks dan sepopuler seperti sekarang. Di sudut-sudut kota, terutama di area publik, telepon umum masih setia berdiri, meski eksistensinya mulai tergerus waktu. Namun, bagi seorang siswa kelas 6 SD bernama Dani, sebuah telepon umum tua di lorong belakang sekolahnya bukan hanya sekadar benda usang, melainkan gerbang menuju pengalaman tak terlupakan yang akan selamanya terpatri dalam ingataya. Pulang sekolah agak sore, melintasi lorong sepi yang jarang dilewati, Dani melihatnya. Telepon umum itu, berdebu dan tampak tak berfungsi, menarik perhatiaya. Iseng, ia mengangkat gagangnya. Sebuah tindakan sederhana yang akan membawanya ke dalam pusaran misteri, nostalgia, dan mungkin, sebuah pamitan terakhir dari sebuah era.
Senja di Lorong Kenangan
Sore itu, bayangan pepohonan di halaman belakang sekolah membentang panjang, menciptakan siluet menyeramkan di lorong yang biasanya ramai saat jam istirahat. Namun, saat itu, lorong tersebut benar-benar sepi. Dani, yang baru saja menyelesaikan piket kelasnya, merasa sedikit sendirian. Langkah kakinya memecah kesunyian, mengiringi bisikan angin yang berdesir di antara dedaunan kering. Di sudut lorong, menempel di dinding berlumut, berdiri sebuah kotak telepon umum berwarna hijau lumut yang pudar. Catnya mengelupas di sana-sini, memperlihatkan karat di bawahnya. Kaca penutup tombol panggilaya retak, dan koin slotnya tersumbat benda asing.
Telepon umum itu adalah relik dari masa lalu, bahkan di tahun 2004. Sudah bertahun-tahun Dani sekolah di sana, dan ia tak pernah sekalipun melihat telepon itu digunakan. Kebanyakan teman-temaya sudah memiliki ponsel flip kecil, atau setidaknya tahu cara meminjam ponsel orang tua. Telepon umum ini hanyalah dekorasi yang terlupakan, saksi bisu dari ribuan cerita yang mungkin pernah terjadi di lorong ini. Namun, entah kekuatan apa yang menariknya, mata Dani terpaku pada gagang telepon yang tergantung lesu. Sebuah dorongan tak terjelaskan — mungkin rasa ingin tahu khas anak-anak, atau sekadar kebosanan — membuatnya mendekat. Jantungnya berdebar samar. Apakah telepon ini benar-benar mati total, ataukah ia masih menyimpan sedikit sisa kehidupan di dalamnya?
Panggilan dari Masa Lalu (atau Lain Waktu)
Dengan tangan sedikit gemetar, Dani mengulurkan tangaya. Debu tebal yang menempel di gagang telepon membuatnya bergidik sedikit, namun ia tak mengurungkaiatnya. Ia mengangkat gagang telepon yang dingin dan berat itu. Tidak ada suara ‘tut’ yang familiar, tidak ada dering kosong, bahkan tidak ada hening total yang biasanya menandakan telepon mati. Yang ada hanyalah sebuah suara, samar dayaris tak terdengar, seperti bisikan angin yang terjebak di dalam kabel tembaga. Itu bukan suara tunggal, melainkan perpaduan dari banyak suara, terdistorsi dan saling tumpang tindih.
Dani mengerutkan kening, mencoba menangkap makna dari kebisingan aneh itu. Ia mendengar tawa anak-anak yang riang, suara langkah kaki tergesa-gesa, bisikan rahasia, teriakan kegembiraan, dan rintihan sedih. Seperti sebuah rekaman usang dari ribuan percakapan yang pernah terjadi di telepon ini, semuanya berputar bersamaan, membentuk simfoni nostalgia yang memilukan. Ada suara seorang ibu yang memarahi anaknya karena pulang terlambat, suara seorang remaja yang berbisik janji cinta pertama, suara orang dewasa yang melaporkan kejadian darurat, dan bahkan, sekelebat, suara bel sekolah yang familiar, tapi terdengar jauh dan melankolis.
Bulu kuduk Dani merinding. Ini bukan suara hantu, setidaknya bukan dalam artian menakutkan yang biasa ia dengar di cerita teman-temaya. Ini lebih seperti gema, jejak-jejak energi yang ditinggalkan oleh setiap jiwa yang pernah berkomunikasi melalui perangkat usang ini. Telepon umum itu seolah menjadi kapsul waktu, menyimpan fragmen-fragmen kehidupan, harapan, dan keputusasaan dari orang-orang yang menggunakaya. Dani menekan gagang itu lebih erat ke telinganya, takut kehilangan satu pun dari bisikan-bisikan itu. Ia merasa seolah sedang mengintip ke dalam jiwa masa lalu, ke dalam sebuah era di mana koneksi antar manusia masih sangat bergantung pada kawat dan koin.
Bisikan yang Menggema dan Pamitnya Sebuah Era
Semakin lama Dani mendengarkan, semakin jelas suara-suara itu terasa. Ia mulai bisa membedakan potongan-potongan dialog, meskipun masih terdistorsi. Sebuah suara perempuan muda terdengar berbisik, “Nanti malam ya, jangan sampai ketahuan.” Lalu disusul tawa renyah. Kemudian, suara laki-laki yang lebih tua, terdengar panik, “Tolong! Anak saya hilang di pasar!” Suara-suara itu datang silih berganti, seperti adegan-adegan dari sebuah film dokumenter yang menceritakan kehidupan di sekitar telepon umum ini. Dani tak tahu berapa lama ia berdiri di sana, terhipnotis oleh simfoni memori ini. Waktu seolah berhenti, dan ia sepenuhnya larut dalam narasi tak terlihat yang disuarakan oleh gagang telepon itu.
Ketika suara-suara itu mulai memudar, perlahan-lahan kembali menjadi bisikan angin dan hening, Dani meletakkan gagang telepon. Ia merasa seperti baru saja menyelesaikan perjalanan panjang melintasi waktu. Telepon umum itu, yang tadinya hanya benda usang, kini memiliki makna baru. Ia adalah penjaga memori, saksi bisu dari setiap emosi yang pernah tertumpah ruah melaluinya. Dani menatapnya sekali lagi, kali ini dengan pandangan yang berbeda. Ada rasa hormat, sedikit melankolis, dan juga pemahaman yang dalam.
Saat itu, ia belum tahu bahwa telepon umum ini, dan ribuan telepon umum laiya di seluruh dunia, akan segera benar-benar lenyap. Tahun-tahun berikutnya akan menyaksikan ledakan ponsel pintar, internet seluler, dan aplikasi pesan instan yang akan membuat telepon umum menjadi artefak yang benar-benar tak relevan. Pengalaman Dani saat itu adalah sebuah momen perpisahan yang tak disadari, sebuah pamitan terakhir dari sebuah era komunikasi. Ia secara tidak sengaja menjadi saksi bisu dari detik-detik terakhir “kehidupan” sebuah teknologi yang akan segera digantikan sepenuhnya. Telepon umum itu mungkin tidak pernah berdering lagi setelah itu, tidak pernah menerima koin lagi, atau menyampaikan pesan penting laiya. Bisikan yang didengar Dani adalah gema terakhir, cerita penutup dari sebuah panggung yang akan segera dibongkar.
Sebuah Akhir yang Penuh Makna
Pulang ke rumah dengan pikiran penuh, Dani tidak menceritakan pengalamaya kepada siapapun. Ia tahu bahwa tidak ada yang akan sepenuhnya mengerti atau percaya. Pengalaman itu terlalu pribadi, terlalu magis, untuk bisa diceritakan dengan kata-kata. Sejak hari itu, setiap kali melewati lorong belakang sekolah, ia selalu melirik telepon umum itu. Ia tidak pernah lagi mengangkat gagangnya. Rasanya seperti ia telah mendengar semua yang perlu didengar, dan ia tidak ingin mengganggu kedamaian “tidur” benda itu.
Beberapa bulan kemudian, tim pemeliharaan sekolah membongkar telepon umum itu. Mereka beralasan sudah terlalu tua, rusak, dan tidak lagi berguna. Tempatnya digantikan oleh tembok baru yang bersih, dan tidak ada lagi jejak keberadaaya. Bagi kebanyakan orang, itu hanya pembersihan sederhana. Tapi bagi Dani, itu adalah akhir dari sebuah era. Telepon umum terakhir yang masih menyimpan suara-suara masa lalu, telah tiada. Pengalaman itu mengajarinya bahwa bahkan benda mati pun bisa memiliki jiwa, bisa menyimpan cerita, dan bisa berbicara kepada mereka yang mau mendengarkan.
Kisah Dani dan telepon umum terakhir itu menjadi pengingat betapa cepatnya dunia berubah. Sebuah era di mana orang harus bergegas mencari koin untuk menghubungi orang terkasih, di mana janji bertemu di telepon umum menjadi titik koordinat penting, dan di mana setiap percakapan terasa lebih disengaja, kini hanya menjadi memori. Telepon umum itu mungkin sudah tiada, tapi bisikaya masih menggema di ingatan Dani, sebuah melodi nostalgia tentang koneksi manusia di tengah kepungan perubahan.
*
Kesimpulan
Pengalaman Dani dengan telepon umum tua di tahun 2004 adalah sebuah metafora yang kuat tentang transisi teknologi dailai-nilai yang hilang di sepanjang jalan. Objek yang bagi banyak orang hanyalah besi tua tak berguna, bagi Dani menjadi portal ke masa lalu, tempat di mana ia bisa merasakan denyut kehidupan yang pernah mengalir melaluinya. Kisah “telepon umum terakhir” ini bukan hanya tentang sebuah alat komunikasi yang usang, melainkan tentang pamitan sebuah era, era di mana koneksi fisik dan interaksi terencana memiliki bobot yang berbeda. Dalam hiruk pikuk dunia modern yang serba cepat dan digital, cerita Dani mengingatkan kita untuk sesekali berhenti, melihat ke belakang, dan menghargai jejak-jejak sejarah serta cerita-cerita yang tersembunyi di dalam benda-benda biasa yang perlahan mulai menghilang dari pandangan kita. Mungkin, jika kita mau mendengarkan, benda-benda itu masih menyimpan bisikan-bisikan berharga dari waktu yang telah lalu.